Meski tak terlihat begitu kentara, geliat karya seni di Indonesia tetap masih terasa. Beragam karya seni baru terlahir, dalam berbagai aliran yang menyesuaikan dengan berkembangnya jaman. Termasuk salah satu diantaranya adalah aliran kinetic art atau disebut juga seni kinetik.
Kekinian dalam seni yang dikatakan sebagai seni kontemporer moderen sekarang ini demikian cepat memengaruhi perubahan seni di Indonesia. Kinetic Art atau juga dikenal dengan seni kinetik adalah satu diantara media baru dalam bagian seni rupa. Karya yang diperlihatkan adalah kombinasi pada seni serta tehnologi dengan “gerakan” jadi topik intinya.
Bila melihat dari sisi historis, Kinetic Art serta kinetisisme di negara Barat lahir oleh ada satu terobosan dalam seni patung yang mengartikulasikan satu pergerakan. Dirintis oleh beberapa orang seniman diantaranya Marcel Duchamp serta Laszlo Moholy-Nagy yang mengawalinya di era ke-20 yang diwujudkan dalam usaha menghadirkan pergerakan jadi satu perpindahan material dalam satu ruangan, yang dihidangkan oleh satu ‘gerak yang terepresentasi’. Di benua Eropa serta Amerika, kinetic art ini berkembang sesudah masa Perang Dunia II. Kinetic art dipandang jadi satu tanggapan artistik beberapa seniman pada ada rasionalitas, ilmu dan pengetahuan serta tehnologi.
Di Indonesia, masa 90-an adalah waktu kemunculan gairah artistik yang muncul jadi terobosan baru dalam usaha keluar dari batas-batas medium yang pada saat terlebih dulu relatif menguasai. Dengan popularitas instalasi serta performans, elemen pergerakan keluar dalam tingkat sensibilitas yang berlainan. Intinya lewat persinggungan dengan budaya serta kebiasaan seperti seni pertunjukan (teater serta wayang), artefak tradisionil, dan pada benda-benda sehari-harinya.
Salah seseorang pelopor kinetic art di Indonesia yaitu Edwin Rahardjo, yang berupaya mempopulerkan aliran seni itu dengan memprakarsai satu galeri, yakni Edwin’s Gallery. Di dalamnya, beliau mewadahi masukan seni kinetik yang memadukan seni tiga dimensi serta prinsip mekanik. Hadirnya karya-karya Edwin Rahardjo seakan tunjukkan bagaimana spektrum praktek kinetic art di Indonesia dapat buka peluang ada kerjasama yang menarik pada seni serta tehnologi.
Saat ini, estetika kinetic art sudah ada jadi satu metafor dari satu cerita, kemampuan satu system mekanik, dan motif artistik yang berdiri dengan sendiri. Yang lebih mendasar yaitu perlunya untuk mengerti bagaimana ketertarikan mata pencinta karya seni pada suatu kesan pergerakan yang pada intinya jadi wakil untuk sifat-sifat manusia yang muncul dengan alamiah.
Kekinian dalam seni yang dikatakan sebagai seni kontemporer moderen sekarang ini demikian cepat memengaruhi perubahan seni di Indonesia. Kinetic Art atau juga dikenal dengan seni kinetik adalah satu diantara media baru dalam bagian seni rupa. Karya yang diperlihatkan adalah kombinasi pada seni serta tehnologi dengan “gerakan” jadi topik intinya.
Bila melihat dari sisi historis, Kinetic Art serta kinetisisme di negara Barat lahir oleh ada satu terobosan dalam seni patung yang mengartikulasikan satu pergerakan. Dirintis oleh beberapa orang seniman diantaranya Marcel Duchamp serta Laszlo Moholy-Nagy yang mengawalinya di era ke-20 yang diwujudkan dalam usaha menghadirkan pergerakan jadi satu perpindahan material dalam satu ruangan, yang dihidangkan oleh satu ‘gerak yang terepresentasi’. Di benua Eropa serta Amerika, kinetic art ini berkembang sesudah masa Perang Dunia II. Kinetic art dipandang jadi satu tanggapan artistik beberapa seniman pada ada rasionalitas, ilmu dan pengetahuan serta tehnologi.
Di Indonesia, masa 90-an adalah waktu kemunculan gairah artistik yang muncul jadi terobosan baru dalam usaha keluar dari batas-batas medium yang pada saat terlebih dulu relatif menguasai. Dengan popularitas instalasi serta performans, elemen pergerakan keluar dalam tingkat sensibilitas yang berlainan. Intinya lewat persinggungan dengan budaya serta kebiasaan seperti seni pertunjukan (teater serta wayang), artefak tradisionil, dan pada benda-benda sehari-harinya.
Salah seseorang pelopor kinetic art di Indonesia yaitu Edwin Rahardjo, yang berupaya mempopulerkan aliran seni itu dengan memprakarsai satu galeri, yakni Edwin’s Gallery. Di dalamnya, beliau mewadahi masukan seni kinetik yang memadukan seni tiga dimensi serta prinsip mekanik. Hadirnya karya-karya Edwin Rahardjo seakan tunjukkan bagaimana spektrum praktek kinetic art di Indonesia dapat buka peluang ada kerjasama yang menarik pada seni serta tehnologi.
Saat ini, estetika kinetic art sudah ada jadi satu metafor dari satu cerita, kemampuan satu system mekanik, dan motif artistik yang berdiri dengan sendiri. Yang lebih mendasar yaitu perlunya untuk mengerti bagaimana ketertarikan mata pencinta karya seni pada suatu kesan pergerakan yang pada intinya jadi wakil untuk sifat-sifat manusia yang muncul dengan alamiah.